Defenisi ekonomi kreatif
John Howkins dalam bukunya The Creative Economy: How People Make Money from Ideas pertama kali memperkenalkan istilah ekonomi kreatif.
Howkins menjelaskan ekonomi kreatif sebagai "kegiatan ekonomi dalam masyarakat yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menghasilkan ide, tidak hanya melakukan hal-hal yang rutin dan berulang. Karena bagi masyarakat ini, menghasilkan ide merupakan hal yang harus dilakukan untuk kemajuan”.
Ada beberapa alasan mengapa industri kreatif perlu dikembangkan antara lain :
1. Memberikan kontribusi ekonomi yang signifikan.
2. Menciptakan iklimbisnis yang positif.
3. Membangun citra dan identitas bangsa.
4. Berbasis kepada sumber daya yang terbarukan.
5. Menciptakan inovasi dan kreativitas yang merupakan keunggulan kompetitif suatu bangsa.
6. Memberikan dampak sosial yang positif.
Tantangan Pengembangan Ekonomi Kreatif di Indonesia
Sejak dipimpin oleh Mari Elka Pangestu pada 19 Oktober 2011, Kementerian Pariwasata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) berkiprah mengembangkan ekonomi kreatif Indonesia. Meski terasa masih meraba-raba, pembentukan Kemenparekraf merupakan titik tolak pengembangan ekonomi kreatif yang langsung ditangani lembaga kementerian. Di tataran strategi dan implementasi, terdapat dua koridor utama yang terdiri dari ekonomi kreatif berbasis seni dan budaya; serta yang berbasis media, desain dan iptek. Selain itu kementerian juga mengembangkan zona kreatif yang berbasis wilayah.
Upaya pengembangan potensi ekonomi kreatif bukanlah kebijakan tanpa dasar. Dalam kajian Kemenparekraf, pada 2008 perkembangannya memberi kontribusi PDB sebesar 7,28% dan mencipta lapangan kerja sebesar 7.686.410. Dalam kurun 2009 s/d 2014, Kemenparekraf memproyeksikan kontribusi sebesar 6 – 10%. Selain kesejahteraan ekonomi, perkembangan ekonomi kreatif juga dianggap mampu memberi dampak sosial berupa peningkatan kualitas hidup dan toleransi sosial. Dua hal yang dibutuhkan oleh negara yang memiliki jumlah penduduk yang tinggi dan keragaman budaya yang luar biasa.
Dari sisi pelaku sebetulnya ada banyak pencapaian yang membanggakan dari praktisi ekonomi kreatif di Tanah Air. Meski dengan dukungan terbatas ada banyak sekali pelaku yang mengecap reputasi yang diakui secara nasional dan bahkan internasional. Diantara banyak nama yang muncul ke permukaan adalah Christiawan Lie yang terlibat dalam pembuatan film Transformer III, GI Joe, dan Spiderman IV. Selain itu ada Rini Triyani Sugianto yang terlibat dalam pembuatan film animasi The Adventure of Tintin: Secret of The Unicorn, dan The Avengers. Di bidang musik internasionalisasi Indonesia diwakili oleh band cadas Superman Is Dead, Burgerkill, ataupun kelompok Jogja Hip Hop Foundation.
Bila menilik pada sejarah, kiprah Indonesia di kancah internasional sejak lama dirintis oleh para seniman. Pada sekira tahun 1948 s/d 1950, Otto Djaja melancong ke Eropa dan membawa beberapa karya Sudjojono, Affandi serta Hendra Gunawan. Pada tahun 1953 – 1954, Kusnadi mencatat bahwa Affandi pernah diundang berpameran di Sao Paolo dan Venice Biennalle. Di bidang musik, khalayak di Belanda mengenal betul sosok Andy Tielman yang tergabung dalam kelompok The Tielman Brothers. Aksi mereka menghentak publik Eropa hingga band ini dianggap sebagai pionir perkembangan musik rock ‘n’ roll di negara kincir angin pada tahun 1950-an.
Sayang kiprah ini kurang mendapat perhatian dan apresiasi yang semestinya. Ada banyak musisi, seniman, sastrawan, desainer, serta para praktisi ekonomi kreatif yang berjuang di jalan senyap. Pemerintah dan masyarakat seakan abai terhadap karya dan prestasi yang mereka capai. Selain itu, tidak jarang kondisi para pekerja kreatif di Indonesia begitu memprihatinkan saat mereka berada di ambang usia. Kabar baik datang dari generasi muda yang mulai menggali sejarah dan mengapresiasi karya para pelaku yang ada di garda terdepan perkembangan dunia kreativitas Indonesia. Sementara itu, perhatian dari pemerintah seringnya hanya jadi angin lalu saja.
Meski secara formal baru dikembangkan sejak 2009, bagi masyarakat kita ekonomi kreatif bukan barang baru. Sebagai contoh geliatnya di kota Bandung sudah terasa sejak lama. Dengan infrastruktur terbatas, warga kota mengandalkan kreativitas untuk menyambung hidup. Tak heran bila Bandung dikenal sebagai pusat perkembangan musik, seni rupa, desain, dan fesyen di Tanah Air. Ironisnya potensi ini dipandang sebelah mata oleh Pemerintah Kota. Insiden 9 Februari 2008 yang menewaskan 11 anak muda selepas konser musik cadas di Gedung AACC (sekarang Gedung New Mayestik) adalah cermin bahwa energi kreativitas anak muda kota Bandung belum dapat dikelola melalui serangkaian kebijakan dan infrastruktur kota yang baik.
Bandung dinobatkan menjadi percontohan bagi pengembangan kota kreatif pada 2007, namun yang terasa dominan sampai saat ini adalah proses kapitalisasi, gentrifikasi, dan akuisisi usaha oleh pemilik modal besar. Sejak disebut sebagai kota kreatif, identitas kota Bandung yang baru menarik arus investasi dan gairah ekonomi tersendiri. Seiring dengan pembangunan jalan tol Cipularang yang menghubungkan Bandung dengan Jakarta, harga lahan di kota kembang membumbung tinggi. Ongkos produksi semakin mahal. Pelaku ekonomi kreatif kota Bandung yang berbasis UKM cenderung terpinggirkan. Sejauh ini ekonomi kota Bandung memang berkembang pesat, namun persoalan kemiskinan dan masalah lingkungan juga menjadi semakin pelik.
Di era otonomi daerah pemerintah pusat tidak memiliki kewenangan menentukan arah pembangunan daerah. Hal ini menjadi faktor penghambat bagi proses percepatan pengembangan ekonomi kreatif di pelosok. Kebijakan pusat belum secara efektif memberi dampak di daerah dan begitupun sebaliknya. Potensi dan persoalan di daerah tidak dapat langsung direspon pemerintah pusat, sehingga pengembangan ekonomi kreatif serasa berjalan di tempat. Kompleksitas ini ditambah dengan sulitnya melakukan koordinasi diantara kementerian terkait, hingga aparatus negara tergagap-gagap saat melaksanakan kebijakan yang ada.
Dalam kajian tim perumus Komite Pengembangan Ekonomi Kreatif Jawa Barat di 5 wilayah BKPP tahun 2011, terungkap bahwa birokrat di daerah sulit melaksanakan Inpres No. 6/ 2009 yang menjadi dasar kebijakan pengembangan ekonomi kreatif Indonesia. Tim juga menemukan bahwa potensi ekonomi kreatif berbasis seni dan budaya merupakan modal dasar yang perlu dikembangkan secara sistematis. Persoalan utama yang dihadapi di daerah adalah masalah modal finasial, infrastruktur, promosi, pemasaran, serta modal pengetahuan yang minim. Hal ini berbanding terbalik dengan potensi yang dimiliki, yang diantaranya adalah keberagaman budaya serta pertumbuhan populasi muda yang luar biasa.
Disparitas pemahaman dan minimnya pengetahuan membuat proses implementasi kebijakan tersendat di tengah jalan meski Inpres No. 6/ 2009 ditujukan kepada segenap lembaga pusat sampai daerah. Provinsi Jawa Barat merespon kondisi ini dengan menerbitkan SK Gubernur No. 500/Kep. 146-Bapp/2012 tentang Komite Pengembangan Ekonomi Kreatif Jawa Barat yang bernaung di bawah Bappeda Jabar. Komite terdiri dari berbagai pemangku kepentingan; mulai dari akademisi, sektor bisnis, pemerintah, serta komunitas. Walau sudah bekerja hampir satu tahun, perkembangan ekonomi kreatif Jawa Barat belum menunjukan kemajuan berarti meski gelagatnya di masyarakat begitu menggebu. Apa yang terjadi di Bandung dan beberapa Kab/Kota Jawa Barat juga terasa di daerah lain walau dengan tekanan yang berbeda.
Dalam menghadapi keterbatasan infrastruktur serta sengkarut birokrasi dan koordinasi kewenangan pemerintah pusat dan daerah, Kemenparekraf merintis program aktivasi Taman Budaya mulai awal 2012. Kebijakan ini secara khusus ditujukan untuk menyediakan ruang ekspresi, apresiasi dan eksperimentasi bagi khalayak, serta merupakan satu dari sekian banyak kebijakan dan program yang telah dikembangkan. Sejak digagas Prof. Dr. Ida Bagus Mantra pada 1978, saat ini Taman Budaya telah dilihat sebagai instrumen strategis untuk mendorong percepatan pengembangan ekonomi kreatif di daerah. Ada sekitar 25 Taman Budaya di 25 Provinsi. Beberapa hampir tak terdengar kiprahnya, meski aktif mengembangkan bermacam kegiatan lengkap dengan kondisi serta persoalan yang beragam.
Diawali dengan melakukan kajian di Aceh, Jawa Barat, Jawa Timur dan Bali, kementerian menggandeng Pemerintah Provinsi untuk mengembangkan program uji coba. Meski proses implementasi kebijakan ini tidak berjalan mulus, ada banyak pihak yang berharap upaya ini jadi terobosan yang berarti bagi masa depan perkembangan ekonomi kreatif yang berbasis kekayaan budaya. Ekonomi kreatif bukan semata soal ekonomi, tapi juga penciptaan nilai yang memanfaatkan akal budi dan pengetahuan. Selain kebijakan yang terpadu, di dalamnya ada peran sains, teknologi, teknik, seni, dan rekayasa. Oleh karena itu pengembangan ekonomi kreatif idealnya adalah sebuah proyek politik dan gerakan kebudayaan yang diharapkan dapat berperan membangun peradaban Bangsa.
Sumber :
http://www.socialmediaclubmoscow.org/mengapa-industri-kreatif-perlu-dikembangkan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar